Pada zaman dahulu kala tersebutlah sebuah kerajaan di atas pegunungan Tengger bernama Medangkamulan. Kerajaan itu diperintah oleh Prabu Gilingwesi dan dibantu oleh seseorang perdana menteri bernama Patih Pranggulang.
Akhir-akhir ini Prabu Gilingwesi merasa sedih karena putrinya yang cantik jelita bernama Raden Ayu Tunjung Sekar belum juga mau bersuami. Telah banyak lamaran dari para putera mahkota negara-negara tetangga, namun semua ditolak Sang Putri dengan alasan belum waktunya untuk berkeluarga.
Pada suatu malam, Tunjung Sekar bermimpi. Ia seakan sedang berjalan-jalan di tengah kebun bunga. Tiba-tiba bulan purnama muncul di langit yang bersih. Ia terpesona melihat sinar bulan itu. Bulan itu pun turun dan mendekat kemudian masuk ke dalam tubuh Tunjung Sekar.
Tunjung sekar terbangun. Lalu ia menanyakan arti mimpinya itu kepada inang pengasuhnya.“Mimpi itu hanya kembang angan-angan saja saat tidur,” hibur inang pengasuhnya.
Beberapa bulan kemudian putri Tunjung Sekar ternyata hamil. Prabu Gilingwesi merasa terpukul mendengar putrinya hamil tanpa suami.
Puteri Ayu Tunjung Sekar pun dipanggil menghadap Baginda. Ayahanda Prabu menanyakan asal mula kejadiannya. Sang Puteri pun bercerita tentang mimpinya itu panjang lebar, namun Prabu Gilingwesi tidak percaya pada keterangan puterinya itu.
Dengan marah Baginda Raja memanggil Patih Pranggulang. “Patih! Bawalah Tunjung Sekar ke hutan. Bunuhlah ia sebagai hukuman atas dosanya mencemarkan kehormatan negara,” perintah raja.
Patih Pranggulang pun membawa Tunjung Sekar ke dalam hutan. Sampailah mereka di sebuah hutand ekar pinggir laut. Puteri Ayu Tunjung Sekar berhenti dan duduk di atas sebuah bukit.
“Aki Patih,” ujar Tunjung Sekar, ”silahkan hukuman mati untukku kau laksanakan. Tetapi ngat kalau tidak bersalah, engkau tidak akan bisa membunuhku.”
Patih Pranggulang menghunus pedangnya. Dengan cepat ia mengayunkan pedang itu ke tubuh Tunjung Sekar. Akan tetapi, sebelum menyentuh tubuh Sang Puteri, pedang itu jatuh ke tanah. Patih Pranggulang pun memungut pedang itu kembali. Sewaktu diayunkan kembali ke leher Sang Puteri, pedang itu jatuh kembali. Tiga kali Patih Pranggulang melakukan hal seperti itu, tetapi selalu gagal.
Akhirnya Patih Pranggulang menyimpulkan bahwa Sang Puteri tidak bersalah. Ia pun menyembah. “Tuan Puteri sebaiknya segera pergi dari tempat ini. Saya akan membuat rakit untuk Tuan Puteri naiki menyeberang laut. Hamba sendiri tidak akan kembali ke keraton. Hamba akan bertapa sambil mendoakan Tuan Puteri agar selalu selamat.”
Setelah rakit jadi, Tunjung Sekar berangkat ke tengah laut meninggalkan Patih Pranggulang di tepi pantai. Menjelang malam Patih Pranggulang masuk hutan. Sejak itu ia mengganti namanya menjadi Ki Poleng. Adapun rakit yang dinaiki Tunjung Sekar dibawa arus ke utara. Ia pasrah pada Yang Kuasa.
Pada suatu malam bulan purnama, tiba-tiba perut Tunjung Sekar terasa sakit. Beberapa saat kemudia ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang elok parasnya. Karena anak itu lahir di tengah laut, maka ia diberi nama Raden Sagara. Menurut istilah Madura, sagara berarti laut.
Beberapa hari kemudian, tampaklah sebuah pulau. Tunjung Sekar sangat gembira. Rakit pun menepi. Tunjung Sekar segera turun ke darat sambil menggendong puteranya. Setibanya di darat terjadi keajaiban. Raden Sagara segera meloncat ke tanah sambil berlari ke sana kemari. Tubuhnya semakin besar, seperti anak berumur dua tahun.
Raden Sagara dan ibunya tiba di sebuah tanah lapangan yang luas. Di sudut lapang itu terdapat sebuah pohon. Pada salah satu dahannya terdapat sarang lebah yang cukup besar. Saat Raden Sagara mendekati pohon tersebut, lebah-lebah itu beterbangan menjauhi sarangnya, seakan-akan memberi kesempatan kepada Raden Sagara untuk menikmati madu. Raden sagara segera mengambil madu dan menikmatinya bersama ibunya.
Selanjutnya Puteri Ayu Tunjung Sekar bersama puteranya tinggal di pulau tersebut. Kemudian tempat itu diberi nama Madura, yang berasal dari kata Madu era-era. Artinya, madu di tanah daratan.
KESIMPULAN:Legenda ini mengisahkan asal usul nama sebuah tempat serta berisi pelajaran bahwa orang yang tabah menghadapi cobaan dan rintangan hidup, kelak akan mendapatkan kebahagiaan.